Minggu, 13 Maret 2016

Cerpen inspirasi dari Film layar lebar Korea, "Miracle of Giving Fool(Babo)"



“Miracle of  Giving  Fool”
            Kembali ke tempat ini adalah hal yang dia idamkan, sebuah memory yang kian lucu mulai menyeruak. Di kota ini terkenal-lah si bodoh. Si bodoh yang dikenal luas oleh masyarakat kota. Si bodoh yang menunggu si pencipta salju ini, kala jemarinya menari-nari di atas tuts-tuts piano yang memiliki dua macam warna hitam dan putih. Si bodoh yang hanya bisa tersenyum walau keadaan sedi dan senang.
            Walau bukan saatnya musim salju, namun seperti sebuah anjuran dari kecil bahwa memakai seragam lengkap seperti ini adalah hal wajib. Ibunya berkata, “Sarung tangan, penutup kepala, dan sebuah syal” semua sudah dia kenakan. Namun, jika boleh jujur dia tak menyukai memakai kaos tangan.
            Dari bukit di sana, sudah jelas seorang laki-laki berlari turun dari bukit itu. Berlari sempoyongan hingga membuat dirinya jatuh terguling. Dia  tak begitu tahu mengenai siapa orang itu. Ia seorang laki-laki yang berjaket tebal dengan sepatu lusuhnya. Ia kmudian bangkit dari posisi tertelengkupnya sebab berguling dari bukit itu. Lalu menerobos pagar pembatas.
            Ia berlari kearahnya, dia bisa melihat jelas seperti apa tampangnya. Dengan rambut kumal dan wajah tak terawat namun tak bau badan. Ia berjalan di sampingnya dan menari seolah ia adalah penari khas yang menjemput kedatangannya dari Eropa.
            “Ji-Ho?” ucapnya pertama kali, lalu ia tersenyum senang. Dia  hanya bisa menghindar dari lelaki ini. “Kau masih mengenalku?” tanyanya lagi ia saat ini berjalan mundur di hadapannya.
            Katakanlah dia adalah Ji-Ho. Ji-Ho berhenti dan koper yang dipegangpun ikut berhenti, Ji-Ho menatap orang ini dalam-dalam. “Apakah kita pernah bertemu?” tanya Ji-Ho.
            Lantas ia tersenyum, dan pergi. “Ji-Ho melarangku mendekat. Aku harus pergi.” Lalu ia menjauh. Bahkan sudah hilang di ujung tikungan itu.
            Sungguh Ji-Ho tak mengerti, ia mengenalinya dan ini sungguh tak adil. Mengapa Ji-Ho tahu dia, apakah dia...?
*****
            Di perjalanan Ji-Ho melewati seorang pengepul sampah yang berteriak, “Aku penerima sampah. Dan panggil aku jika kau butu aku!” Ji-Ho jelas melihatnya dan tunggu, itu benda yang tak asing. Sebuah benda yang mengingatkannya  kepada seseorang.
            “Tunggu!” pintanya. Dengan cepat si pengepul sampah itu berhenti. “Apa ada yang bisa aku lakukan untukmu, nona?” tanyanya.
            Ji-Ho meraih sepatu lusuh itu dengan jijik, “Dapatkah aku memilikinya?” tanyanya.
            Lantas si pengepul itu berdiri dngan heran, kemudian dia memberikan  si pengepul sampah 2 won untuk sepatu itu dan kemudian Ji-Ho pergi.
*****
            Appa[ayah]!!!”
            Dari dalam rumah yang hangat terlihat sepasang suami istri yang saling berbeda aktivitas namun di hadapan keduanya ada sebuah tv yang dinyalakan. Sang istri menonton dan si suami membaca koran.
            “Kau mendengar sesuatu?” tanya si istri.
            Sang suami tanpa melirik menjawab, “Aku mendengar Ji-Ho kita memanggil namun, ini cukup mustahil jika dia berada di depan rumah memanggilku.”
            “Kau benar. Ji-Ho kita ada di Eropa.” Katanya membetulkan.
            Appa...Appa..” teriaknya sekali lagi.
            Sepasang suami-istri itu saling menatap dan kemudian mereka berlari, “Ji-Ho datang!”
            “Ji-Ho kami!” sambutnya, dengan cepat ayah menyambarkan pelukan kepadanya. Selanjutnya menepuk bahu Ji-Ho dan berkata. “Harusnya kau menghubungiku, agar aku dapat menjemputmu di bandara.”
            Lalu ibu dengan wajah berserinya menyambar koper yang dia tarik sedari tadi dan membawanya masuk.
*****
            “Kau ingin kemana?” tanya ibu padanya. Sembari mengaduk adonan yang akan dibuat untuk pie daging nanti malam.
            Sambil memasang sepatu kirinya, “Aku ingin berjalan-jalan sambil membeli kopi.”
            “Kopi?” ulang ibu. Ia berburu-buru berdiri dan melap tangannya di celemeknya. “Aku bisa membuatkanmu!” tawar ibu.
            Anio[tidak], aku ingin berjalan-jalan juga.” Kemudian dia pergi begitu saja.
*****
            Di kota ini cukup banyak kedai kopi hingga dia tak tahu harus memilih yang mana. Lalu dia berhenti di sebuah kedai dengan nama, “Bintang kecil.” bacanya. Sudah dia putuskan jika dia  memilih tempat ini untuk memesan secangkir kopi. Dan dia rasa kopi khas cocok untuknya.
            “Apakah kita saling mengenal?” tanyanya. Seorang laki-laki datang tiba-tiba dan duduk di hadapannya. Ia meliriknya dan kemudian sambil memainkan sepuntung rokok di tangannya. Dia Ji-Ho mencoba mengingat-ingat yang  dia bisa, apakah dia mengenalnya?
            “Kurasa ini baru pertama kali kita berjumpa.” Balasnya.
            “Apa tujuanmu datang kesini?”
            Dengan malas dia  menjawab, “Untuk memesan secangkir kopi.” Dan kurasa semua orang akan tahu jika dia  ke kedai kopi untuk apa. Dan dia  tak tahu pasti apa maksud orang ini datang-datang langsung bertanya apakah dia  mengenalinya. “Aneh.” gumamnya.
            Lalu kemudian ia menyalakan sebatang rokok itu di hadapannya dan mengisapnya. Sedangkan dia hanya bisa pasrah. Ji-Ho mrnyeruput secangkir kopi itu dan setelah itu dia memasang syal coklatnya. diletakkanya selembar uang, dan pergi dari tempat ini saat lelaki itu tiba-tiba berteriak tidak jelas kepada seseorang.
*****
            Tempat ini sudah banyak beruba. Sambil  masukkan tangannya kedalm saku jaket  kemudian terkesimak.
            Di sana ada tiang listrik pas di depan rumahnya. Sekali lagi Ji-Ho  melihat orang itu lagi, dengan jaket lusuh dan menggunakan sepatu hanya sebelah. Ia melirik balkon kamar  atau tepatnya rumah Ji-Ho seolah dia sedang menguntit.
            “Lee Seung-Ryong.” Kata Ji-Ho  hati-hati dan ia  pas ada di belakangnya.
            Dia berbalik dengan wajah senang dan kini menatap Ji-Ho sejenak. Kemudian ia kaget sampe-sampe ia hampir jatuh terduduk.  Terlihat  lelaki itu bersembunyi di balik tiang listrik di depan rumah. Ia mungkin bersembunyi dari Ji-Ho dan mungkin berharap ia  tak melihatnya. “Kau Lee Seung Ryong?” tanyanya  lagi dan kali ini ji-Ho  mengikuti kemana pergerakan orang itu  dan alih-alih dapat melihat wajah lusuhnya itu. “Itu.. Benar-benar kau, kan?” sahut Ji-Ho. Ji-Ho  mencoba mendekatinya yang kini tampak bergerak semakin liar, “Ini aku.” Katanya  meyakinkan. “Kau tak mengenaliku?”
            Dia haya mencoba menyembunyikan tubuh besarnya di balik tiang listrik. “Aku teman sekelasmu dulu. Aku Seok Ji-Ho. Kau ingat?” Katanya dengan ramah. “Aku tak tahu, kau masih tinggal di sini.” Lanjutnya kemudian tersenyum.
            Orang itu memang betul Lee Seung-Ryong. Ia dapat melihat jelas tingkahnya yang takka berubah walau bagaimanapun. Dia adalah orang bodoh itu. “Seung-Ryong tak pergi kemana-mana.” Katanya. “Kau melihatku? A..aanggap kau tak melihatku. Maa..af!” ucapnya terbata-bata dan ia mencoba pergi.
            Saat Ji-Ho tersenyum setelah itu ia heran, “Ini aku Seok Ji-Ho” katanya lagi agar Seung-Ryong mau mengakuinya.
            “Maafkan aku,,, anggap kau tak melihatku.. aku akan pergi dari hadapanmu. Dan membuatmu tak melihatku lagi.” Lalu Seung-Ryong pergi dari hadapan Ji-Ho.
            “Hey!” panggil gadis ini Ji-Ho. Ia melihat dengan jelas Seung-Ryong pergi tergopoh-gopoh hingga meninggalkan sebelah sepatunya lagi. Sepatuh lusuh, di dekatinya sepatu itu dan dipungutnya. Lalu Ji-Ho tersenyum. “Lagi.” gumam Ji-Ho.
*****
            Si bodoh lari dengan senangnya. Ia senang karena gadis itu kembali dan ia dapat melihatnya hampir setiap hari. Dan mungkin untuk mengendap lagi. Ia berlari dengan satu sepatu di kaki kanannya saja, dengan senang ia berlari tak peduli bahkan ia menabrak tiga pejalan kaki sekaligus. “Mianhyeo[maaf].”
            Si bodoh berlari langsung menuju kedainya untuk kembali menjual roti  sandwich. Sejak ia putus sekolah, ia memutuskan untuk menjual sandwich untuk memenuhi kebutuhan hidup seseorang. Seorang gadis kecil yang ia sangat sayangi. Gadis itu cantik dan bersekolah di sekolah di dekat kedainya, mungkin 1000 langkah dari tempat ia menjual.
            Ia kemudian langsung melayani para pelanggan dari sekolah adiknya. Bahkan ia tak peduli jika para pelanggannya berkata, “Seung-Ryong bodoh!”
            Yang ia perlukan hanya melihaat gadis itu, melihat adiknya, dan mengatakan “Sandwich untuk perut yang lapar. Dan satu dollar untuk kaleng ini.”
*****
            Seong-Ryong kecil melihat gadis kecil itu memainkan sebuah lagu dengan piano. Seong-Ryong sangat suka musik bahkan ia juga suka melihat gadis itu memainkan piano, ia takkan berhitung dua kali jika ia lebih suka melihat gadis itu bermain pioano ketimbang belajar.
            Hingga suatu hari, ia tak melihat gadis kecil itu bermain piano. Semua orang tahu itu. Mata tajam mulai menyelimutinya, Seong-Ryong hanya dapat tersenyum menunduk. Ia tahu bukan waktuunya untuk tersenyum namun oataknya itu yang memaksanya untuk senyum terus.
            “Ini salah si bodoh itu. Dari dulu dia yang selalu ada di depan pintu musik ini. Pasti dia yang membakar piano itu.” sahut seorang siswa berambut cepak ke seorang guru. Guru itu menatap Seung-Ryong penuh arti dan  kembali menenangkan gadis piano itu. “Ini adalah piano yang di sumbangkan oleh ayahmu.” tambahnya lagi.
*****
            Seung-Ryong hanya menunduk saat ibunya duduk disampinya dengan menggenggam tangan kecilnya. Seung-Ryong suka genggaman ini.
            “Seung-Ryong adalah anak yang berbeda dari anak lainnya. Bisakah anda berpihak kepada Seung-Ryong saat semua orang menuduhnya.” pinta ibu Seung-Ryong. Matanya penuh pengharap, “Aku adalah ibunya, dan aku mengenal anakku ini. Dia takkan membakar piano itu.”
            Guru dihadapannya mengeluarkan secarik kertas. “Aku turut menyesal, tapi ini adalah keputusan para orang tua siswa. Banyak laporan jika mereka tak nyaman jika berada di dekat Seung-Ryong.”
            “Baiklah, jika tak ada percaya padamu. Aku adalah orang yang akan percaya padamu Seung-Ryong.” Kata ibunya meyakinkan. Kemudian ibunya membawa pergi Seung-Ryong dari tempat tak berhati ini. Tak ada yang mengerti Seung-Ryong dan ibunya.
            Didalam dekapan sang ibu Seung-Ryong meninggalkan sekolah untuk terakhir kalinya dan melihat dua orang yang berbeda tempat. Gadis piano itu dan si pelaku yang sebenarnya. Seung-Ryong yang malang, ia menanggung semuanya padahal ia tak tahu apa-apa.
            “Kau, jangan pernah mendekatiku lagi. Jangan pernah menampakkan dirimu lagi. Pergi kau, kau bodoh. Si bodoh!!” hardik gadis piano itu padanya. Seung-Ryong akan mengingat ini. Ia akan mengingat sebagai catatan penting.
*****
“Little.. Little.. Little star. Dimana kau berada..”
“Hai, kau.. Kau tak bosan menyanyikan lagu itu setiap tahun?”
Seung-Ryong menggeleng, “Tidak. Apa hari ini kau tidak ke bintang kecil?” tanyanya. Lalu melanjutkan lagunya.
“Hai man, kau sudah berani menasehatiku ya.” jawab orang di sampingnya. Dia adalah sahabat satu-satunya yang dimiliki Seung-Ryong. Dia adalah anak kecil yang menyebabkan piano gadis itu terbakar bukan Seung-Ryong.
*****
            Pagi yang cerah. Seung-Ryong mulai terjagah dari tidurnya. Dia menatap langit-langit kamarnya dengan posisi yang sama ia berucap, “Bagung pagi, buatkan sarapan untuk Jee-In, jangan membangunkannya, jangan ribut, jangan membuat napannya berbunyi, jadi Jee-In tidak terbangun,” lalu ia menuju dapur dan membuat roti sandwich. “Sembunyikan, karena itu kecil.” menutup roti dengan penutup mangkuk dan selanjutnya penutup toples, “Sembunyikan karena ini besar.” Menutupnya dengan taflon. “Sembunyikan karena ini besar.” menutupnya dengan panci dan kemudian menutupnya dengan tudung saji. Setelah itu ia membawa meja kecil itu di depan pintu kamar Jee-In dengan hati-hati. Dan barulah ia berangkat ke kedai kecilnya.
            “Jee-In adalah adikmu, jadi jagalah dia. Ibu hanya memilikimu yang dapat ibu titipkan Jee-In.” kata ibunya dulu. Seung-Ryong sangat sedih jika tidak menuruti kata-kata ibunya. Seperti sebuah perintah yang harus Seong-Ryong laksanakan sebagai anak baik.
*****
            Seung-Ryong menggocok telur dan menuangkannya di penggorengan datar tak lupa ia cetak. Lalu ia membuat sendwich dengan benar dan ahli. “Obat oles untuk yang luka. Roti sandwich untuk perut. Dan satu dollar untuk kaleng.” ucapnya berulang kali.mungkin ini alasan mengapa dia terkenal sebagai pembuat sandwich enak tapi bodoh.
            Saat ia telah melayani dua orang pelanggan, ia melihat adiknya melintas. Jee-In gadis cantik menurutnya, ia menaiki meja dan menatap Jee-in hiingga gadis kecil itu tak terlihat lagi di matanya. Seung-ryong tersenyum, memang benar adiknyaa itu sangatlah cantik.
            “Seung-Ryong..” panggil seorang pelanggan.
            Seung-Ryong terkesimak, ia turun dari meja dan menatap pelanggannya itu. Ia kemudian kaget setengah mati hingga ia menjadi salah tingkah. “Apakah, kau baik-baik saja?” tanya pelanggan itu cemas.
            Benar itu adalah Seok Ji-Ho, gadis yang membuatnya sangat senang. Gadis pemain piano, gadis yang membuatkannya salju. “Kenapa kau lari dariku kemarin. Kau meninggalkan ku.kau membuatku sendiri.”
            “A..aku..Ha..nyaa..” gagapnya
            “Mulai saat ini, kau akan terbiasa melihatku!” sahut Seok Ji-ho. “Bisakah kau membuatkanku sandwich?” pinta Ji-Ho.
            Seung-Ryo bersembunyi di balik spatulanya, dan mencoba membuatkan Ji-Ho sebuah sandwich. “Satu dollar untuk kaleng.” ucap Seung-Ryong dan taksengajah ia menumpahkan banyak gula ke sandwich Ji-Ho. “Maafkan aku..” sesal Seung-Ryo.
            “Aku ingin itu, berikan itu padaku.” cegah Ji-Ho sebelumSeung-Ryong semakin gugup. “Aku ingin itu.” pinta Ji-Ho dan tersenyum meyakinkan. Seung-Ryong kemudian menutup sandwich itu dengan bagian roti lainnya dan melapisi dengan selembar kertas dan memberikannya ke Ji-Ho.
            Ji-Ho menerima sandwich itu dan mencicipinya, “Enak!” kata Ji-Ho tersenyum. “Aku punya bayaran untukmu.” Ji-Ho memberi dua sepatu yang berbeda bentuk dan lusuh. “ini untukmu, dan jangan melepas sepatumu lagi. Bye!” Ji-Ho meninggalkan kedai sederhana itu.
            Seung-Ryong menerima sepatu itu dengan senang dan tertawa. Mungkin ia akan menumpahkan banyak gula lagi ke sandwich gadis itu.
*****
            Seok Ji-Ho memasuki kamarnya dan menggantung syal dan sweternya. Sudah ada ibunya disana duduk di atas kasur sambil menatap foto masa kecil Ji-Ho. “Berapa banyak sandwich yang kau makan?” canda ibunya. “Kau tak ingat? Dia adalah temanmu waktu sekolah dasar.” tambah ibunya.
            “Sungguh?”
            “iya, dia bahkan menonton pertunjukanmu sewaktu natal.” Ibunya menambah fakta lagi.
            Omma[ibu], apakah dia memang terlahir bodoh?” tanya Ji-ho.
            Ibunya menggeleng, “Yang kutahu, dia seperti itu karena menghirup banyak gas sehingga otaknya rusak dan ayahnya meninggal.”
            “Memang benar, dia tidak bodoh.” sahut ji-Ho.
*****
            Seperti biasanya Seung-ryo menjadipenguntit lagi. Menatap balkon Ji-Ho, Seung-Ryo bersembunyi di balik tiang listrik. Dan Ji-Ho sadar akan hal itu. Ji-Ho tersenyum, lalu turun menghampiri Seung-Ryo.
            “Hai, mau menemaniku jalan-jalan?” tanya Ji-Ho tiba-tiba.
            Seung-Ryo mulai gugup lagi. “Aku akan pulang.” katanya.
            “Ayolah,,” bujuk Ji-Ho. Lalu Seung-Ryong tersenyum riang. “Oia tunggu sebentar.” Lalu Ji-Hoberlalu masuk kedalam rumahnya dan keluar membawa sepasang sepatu coklat milik ayahnya. Ji-Ho berjongkok, “Lepaskan sepatu kotormu itu!” pinta Ji-Ho. Namun, Seung-Ryo tidak mau maka Ji-Ho melepas paksa sepatu itu dan memasangkan sepatu yang dibawanya tadi. “Ini kanan, ini kiri.” jelas Ji-Ho. Maka Seung-Ryong harus mengingat itu.
            “Kanan...Kiri..” Seung-Ryong menngoyangkan kakinya satu persatu sesuai dengan apa yang ditunjkkan Ji-Ho padanya. Maka mereka jalan-jalan di malam hari dengan suasana dingin.
*****
            “Kau sudah sampai di rumahmu. Setelah ini kau akan apa?” tanya Ji-Ho.
            Seung-Ryong masuk kedalam rumahnya, “Gosok gigi dan tidur. Itu kata  ibu padaku.” jawab Seung-Ryo. Lalu ia membuka sepatunya dan meletakkannya dengan rapih.
            “Kalau begitu akau pulang, daa..” sembari mengangkat tangannya pertanda sampai jumpa. Seung-Ryo mngangkat  tangannya juga. “Ada apa dengan tanganmu?” tanya Ji-Ho cemas saat melihat tangan Seung-Ryo melepuh.
            “Ini tidak apa-apa!” balas Seung-Ryong.
            “Kau punya kotak P3K?”
*****
            “Kenapa tanganmu terluka?” tanya Ji-Ho setelah menyelesaikan balutan pada tangan Seung-Ryong.
            “Jee-In. Aku tadi mengawasinya, tapi aku memegang penggoreng.”
            “Sebaiknya lain-kali kau harus hati-hati.” pesan Ji-Ho. Ia kemudian berdiri, “Sampai jumpa!”
            Seung-Ryo diam sejenak, dan kemudian senyum bahagia.
            “Tunggu dulu,kau memerlukan perbaikan sedikit!”
            Ji-Hopun mengkramas rambut Seung-Ryong. Seung-Ryong melihat pantulannya di cermin ia langsung teringat mengenai ibunya. Saat itu posisinya masih sama seperti dulu,dengan penuh cinta ibunya mengusap dan memberi sampoo ke kepalanya.
            “Kalau seperti inikau terlihat gagah.” kata Ji-Ho sambil merapikan rambut Seung-Ryong.
*****
            Pagi ini seperti biasanya Seung-Ryong menyiapkan sarapan untuk adiknya. Kali ini ia akan mulai berani menyapa atau membangunkan Jee-in dari tidurnya agar ia tak telat ke sekolah.
            “Jee-In? Ayo bangun!” pinta Seung-Reyong lembut.
            Jee-in menatap kesal Seung-Ryong, “Sudah kukatakan jangan menyentuh pintu kamarku ataupun membangunkanku!” jawab Jee-in ketus.


Seung-Ryong yang semulanya berwajah ceria kini cemberut. Ia cemberut bukan karena ia mendapat bentakan tapi karena ia melihat jelas bahwa Jee-In tiba-tiba berwajah pucat. “Jee-In sakit?” ucap Seung-Ryong gemetar.
            Jee-In mengerutkan kening, memasang wajah malas. “Keluar kau, kau bodoh. Urusi dirimu!” bentaknya. Dengan pasrah Seung-Ryong  menututup pintu kamar adiknya.
            Saat setelah Seung-Ryong tak tampak di hadapannya lagi, Jee-In memegangi tubuhnya dan menahan sakit yang teramat sakit. “Aisshh,,, dasar bodoh. Bagaimana bisa dia mencoba mengurusiku sedangkan dia tak  mengurusi dirinya sendiri.” cibir Jee-In. Lalu ia bangun dengan sekuat tenaga dan mencoba menutupi sakit yang dirasanya.
*****
            Sejak tadi ia melayani pelaanggan degan wajah gusar, ia hanya dapat berkata. “Satu dollar untuk kaleng.” sedanggkan para siswi yang notabene sebagai salah satu murit yang satu sekolah dengan adiknya Jee-In sibuk merumpi seperti biasa membicarakan dirinya. Namun, ia tak perduli lagi sekalipun saat itu mereka membicarakan dirinya mengenai, “Si bodoh tampak gagah dengan penampilannya saat ini. Kenapa dia tidak membenahi dirinya dari kemarin-kemarin.”
            Lalu yang ia sibukkan hanya memandangi setiap siswa yang  lewat, berharap Jee-In lewat agar ia dapat memastikan bahwa gadis keras kepala itu baik-baik saja. “Kamsahamnida[terima kasih]!” sahutnya kepada seorang guru yang membeli sandwichnya.
            Bell sekolah itu dapat ia dengan begitu jelasnya. Namun sejak tadi ia sama sekali tak mendapati Jee-In lewat seperti hari-hari biasanya. Dan itu membuatnya agak gusar.
*****
            Semilir angin perlahan menyapa wajahnya. Kini sang matahari sebgai lampu bagi bumi telah pergi dengan sendirinya yang kini diganti oleh bulan yang berkilau sebab cahaya pantulan dari bumi. Sebenarnya bulan itu terlihat utuh jikalau awan tebal dan pekat itu tak menghalanginya.otaknya hanya mampu membayang-bayangi gadis itu, gadis yang telah diditipkan padanya. Satu-satu orang yang harus ia jaga.
            Sejak pukul 05.13 sore tadi para sisiwi telah pulang. Tetapi, gadis itu sama sekali tak dapat ia lihat batang hidungnya lagi. Ini membuatnya semakin tak bergairah untuk meninggalkan kedai kecil itu. Ia menunggu terus bahkan ia selalu mengarahkan pandangannya ke arah gerbang besi besar itu.
            “Seung-Ryong, kenapa kau tak pulang?” tanya seseorang tiba-tiba. Dan itu membuat Seung-Ryong sadar dan kaget hingga ia hampir jatuh ke belakang. “Apakah kau baik-baik sja?” tanyanya sekali lagi.
            Seung-Ryong melirik orang itu, lalu tersipu malu. “Aku menunggu Jee-In pulang! Aku harus disini!” balasnya gagap.
            “Jee-In? Harusnya dia sudah ada dirumah!” ucap orang ini adalah Ji-Ho.
            “Dia bahkan tak kulihat saat dia ke sekolah!”
            “Sebaiknya kau menutup kedai ini, dan akan ku bantu kau memastian jika Jee-in memang sudah pulang.”Ji-Ho meyakinkan.
            Dengan penuh percaya ia mulai membenahi diri,menggantung clemeknya dan mencuci tangan tak lupapula ia menutup kedainya. Ia harus meyakini jika Ji-Ho benar.
*****
            “Kenapa kau selalu menghindar dariku?” tanya Ji-Ho tiba-tiba.
            Seung-Ryong mengingat masa itu, “Karena Ji-Ho yang minta!” jawabnya.
            “Kalau begitu, sekarang aku tak akan menyuruhmu lagi menghindariku.”
            “Sungguh?” ucap Seung-Ryong penuh semangat. “Apakah itu akan membuatu senang?”
            “tentu!” angguk Ji-Ho. “Aku harus banyak berterima kasih kepadamu!”
            Si bodoh menjawab, “Untuk apa?”
            “Karena kau telah membantuku saat demam panggung di musim dingin, waktu pentas pertamaku di bangku sekolah dasar.”
            “Aku tak banyak membantu, aku hanya ingin bintang-bintang tahu jika Ji-Ho ahli dalam piano.”
            “Sungguh?”
            “Iya!” angguk Seung-Ryong. “twinkle, twinkle, little star, how i wonder what you are,up above the world so high, like a diamond in the sky, twinkle, twinkle, little star, how i wonder what you are..”
            Ji-Ho menggelengkan kepala, dan setelah itu melanjut lagu Seung-Ryong. Beberapa menit kemudian turunlah salju dengan perlahan menambah rasa senang dalam hati Seung-Ryong. “Aku menyukai lagu ini, salju, dan musikmu!” sahut Seung-Ryong.
            “Benar-benar, dahulu aku sangat kejam kepadanya. Dan aku sadar jika aku harus merubah pola fikirku dari sekarang.” Batinnya, saat ia melihat Seung-Ryong yang sedang bermain salju.
            “Oia, Seung-Ryong. Ini hadia dariku dan kau harus berjanji agar menjaganya dan tak mengilangkannya.” Ji-Ho menyodorkan sepasang sepatu bergambar bintang kepada Seung-Ryong.
            “Untukku?” menunjukk dirinya.
            “Tentu, tpi kau jangan menghilangkannya ya!”
            Seung-Ryong mengangguk senang. Dan setelah itu memakai sepatu itu. “Aku akan janji untuk menjaga sepatu ini... Aku akan janji untuk menjaga sepatu ini!” ucapnya berkali-kali.
            Tak sadar mereka telah sampai di depan rumah Seung-Ryong dengan cepat ia masuk tanpa pamit ke Ji-Ho. Ia tahu, jika Jee-In adalah orang yang yang terpentingnya kali ini.
            “Jee-In sudah pulang!” teriak Seung-Ryong dengan cepat.
*****
            Pagi ini Seung-Ryong seperti kemarin, tak bersemanat karena tak mendapati adiknya melintas di depan kedainya. Ia semakin gusar.
            “Gadis keras kepala itu, kurasa sakit dan bahkan ia telat ke sekolah dan dihukum.”
            “Kita belikan dia sandwich juga.”
            “Kau bergurau? Jee-In bahkan tak suka roti!”
            “Oh, baiklah..” ucapnya pasrah pada akhirnya.
            Seung-Ryong mendengar jelas percakapan ogadis-gadis itu. Ia mendengar jika Jee-In sakit, dengan cepat ia kemuar dari kedai itu tanpamemperdulikan apapun. Ia berteriak dengan keras menyerukan nama, “Jee-In.” Ia diselimuti rasa penuh bersalah saat mengingat kata sang ibu jika ia tak boleh membiarkan Jee-In sakit.
            “Jee-In!!!” teriak Seung-Ryong hingga membuat siswa-siswi gempar.
            “Si bodoh itu kenapa?” bisik seseorang.
            “Jee-In!!” teriaknya lagi. Hingga seorang siswi memanggilnya. “Kau mencari Lee Jee-In?” tanyanya.
            “Jee-In!”
            “Dia ada di dalam!” kata siswa itu. Dengan cepatSEung-Ryong masuk ke kelas dan melihat adiknya itu sedang meringkup di atas meja dengan menjadikan lengannya sebagai tumpuan kepalanya. Benar adanya jika Jee-In sakit karena suhu badannya begitu panas. Jee-In saat ini pingsan tak sadarkan diri, sehingga membuatnya semakin gusar.
            “Jee-In tak boleh sakit. Jee-In harus ke rumah sakit. Ibu mati karena sakit seperti ini. Je-In harus tidak boleh mati. Jee-In harus ke rumah sakit dan di suntik. Bertahanlah..” katanya saat Jee-In telah berada di punggungnya. Sesaat ia ingin membawa Jee-In ke rumah sakit seorang guru bertanya padanya.
            “Kau siapa? Dan apa hubunganmu dengan Jee-In?” tanya guru itu dengan nada membentak.
            Lalu dengan cepat Seung-Ryong menjawab. “Dia..” mencoba ragu sebab ia pernah di anam oleh Jee-In jika adiknya itu malu dengannya. “Aku..Aku kakanya Jee-In, aku.. Aku kakak dari Jee-In, Jee-In adikku. Dia adalah adikku, aku kakanya. Aku kakaknya Jee-In. Jee-in adalah adikku. Adikku adalah jee-In.” ucapnya berulang kali. Sehingga semua orang yang mendengarkannya tersentuh dan bahkan ada yang menitikkan air mata, bahkan samapai Jee-In di bawah ke rumah sakit Seung-Ryong masih berbicara seperti itu.
*****
            Untung saja, Jee-In dibawa ke rumah sakit dengan cepat. Bahkan Jee-In bisa selamat. Tetapi, seperti sebuah penyakit turunan dari ibunya, ginjal  Jee-In rusak dan harus menerima pendonor segera. Seung-Ryong mengetahui hal itu cepat-cepat ia menghadap dokter dan berkata, “Ambil ginjalku untuk Jee-In.” Namun hasil tes berkata lain jika ginjal Seung-Ryong tidak cocok.
            Sang-Soo sahabat Seung-Ryong sekaligus anak yang harusnya mnerima ganjaran atas perbuatannya taun silam yang lalu memutuskan untuk menjadi pendonor untuk Jee-In. Sungguh di luar kepalang, Seung-Ryong senangnya bukan main. Da harus banyak berterima kasih kepada Sang-Soo.
*****
            Hari ini adalah hari dimana Jee-In di oprsi, sebagai kawan yang baik Ji-Ho mengajak ke bukit tempat ia bertemu pertama kali saat Ji-Ho pulang dari Eropa.
            “Aku tak ingin hari salju!”
            “Kenapa?” tanya Ji-Ho heran.
            “Aku percaya jika orang yang meninggal telah menjadi bintang. Ibu dan ayahku sudah meninggal dan mereka telah menjadi bintang. Waktu ibuku masih hidup ia bilang jika aku merindukannya dan ayah juga aku harus melihat bintang.” Ji-Ho merasa hatinya yang terdalam sedang di robek ia sangat menyesal melakukan kesalahan di masa lalu. Dan ia harus tahu jika ia harus menjadi anak yang baik untuk orang tuanya nanti seperti Seung-Ryong. “Aku ingin mereka melihat Jee-In di oprasi.”
            “Aku yakin hari ini tak turun salju, bahkan ayah dan ibumu melihatnya.” Sahut Ji-ho.
            “Baiklah, aku akan pulang dan membawa barang-barang Jee-In di rumah sakit.! Sampai juampa!” lalu Seung-Ryong berlari dengan ceria ke rumahnya.
*****
            Disaat perjalanannya menuju rumah sakit, ia mendapati 3 orang preman dan berkata. “Kau Sang-Soo?” tanya seorang diantaranya.
            Seung-Ryong berhenti dan menatap ketiga orang itu. Ia mengingat jika sang-soo memiliki banyak musuh yang ia tahu ia harus melindungi Sang-Soo sebab ia telah menolong Jee-In.
            Dengan kejam ketiga orang itu menghajar Seung-Ryong tanpa ampun dan sama sekali tak pernah curuga jika orang bodoh ini bukanlah Sang-Soo.
*****
            “Aku datang kesini untuk mendata orang yang meninggal!” sahutnya.
            Lalu si pendata menyerahkan secarik kertas untuk diisi namun gadis ini tak menerimanya bahkan ia hanya memandang lurus.
            “Baiklah aku yang akan mengisinya.” kata si pendata. “Apa hubunganmu dengan almarhum?” tanyanya.
            “Aku adiknya, aku adiknya Seung-Ryong. Seung-Ryong adalah kakakkku. Aku adik dari seung-Ryong. Seung-Ryong kakakku. Aku adik seung-ryong. Dan aku adalah adiknya...” kata Jee-In berulang kali.
            “Baiklah, aku sudah tau. Ka tinggal dimana?” tanya si pendata.
            “Ini aku adiknya, Seung-Ryong adiknya Jee-in. Jee-In adalah aku, dan aku adalah adinya Seung-Ryong. Dia adalah kakakku, dan aku adalah adiknya..” begitulah yang ia katakan seperti saat Seung-Ryong membawanya datang ke rumah sakit. Jee-In ingat semuanya, Jee-In merasa tertampar atas sikap yang pernah dilakukan kepada seung-Ryong.harusnya Jee-In mengatakan bahwa ia benar-benar mencintai kakaknya itu.
*****
            Seok Ji-Ho mentap keluar jendela sat hujan turun begitu derasnya, ia kemudian memandang tiang listrik tua itu. Harusnya seseorang telah ada di sana sekarang. Namun, pada malam itu ia mendapati laki-laki itu sudah tidur untuk selamanya dengan simpahan darah di es salju yang putih.
            Dengan takkuasa lagi Ji-Ho menunmpahkan perasaan panas di dadanya dengan diandai sebuah air mata yang mulai membasahi kedua pipinya. Sesegukan ia menyebut namasi pecinta salju itu.
            Si bodoh yang tak akan kembali lagi, si bodoh yang telah menjadi bintang untuk di kenang, si bodoh yang sangat menyukai bintang kecil, si bodoh yang gila akan adiknya, dan si bodoh yang mati untuk Sang-Soo.
END