“Miracle of Giving
Fool”
Kembali ke tempat ini adalah hal
yang dia idamkan, sebuah memory yang
kian lucu mulai menyeruak. Di kota ini terkenal-lah si bodoh. Si bodoh yang
dikenal luas oleh masyarakat kota. Si bodoh yang menunggu si pencipta salju
ini, kala jemarinya menari-nari di atas tuts-tuts piano yang memiliki dua macam
warna hitam dan putih. Si bodoh yang hanya bisa tersenyum walau keadaan sedi
dan senang.
Walau bukan saatnya musim salju,
namun seperti sebuah anjuran dari kecil bahwa memakai seragam lengkap seperti
ini adalah hal wajib. Ibunya berkata, “Sarung tangan, penutup kepala, dan
sebuah syal” semua sudah dia kenakan. Namun, jika boleh jujur dia tak menyukai
memakai kaos tangan.
Dari bukit di sana, sudah jelas
seorang laki-laki berlari turun dari bukit itu. Berlari sempoyongan hingga
membuat dirinya jatuh terguling. Dia tak
begitu tahu mengenai siapa orang itu. Ia seorang laki-laki yang berjaket tebal
dengan sepatu lusuhnya. Ia kmudian bangkit dari posisi tertelengkupnya sebab
berguling dari bukit itu. Lalu menerobos pagar pembatas.
Ia berlari kearahnya, dia bisa
melihat jelas seperti apa tampangnya. Dengan rambut kumal dan wajah tak terawat
namun tak bau badan. Ia berjalan di sampingnya dan menari seolah ia adalah
penari khas yang menjemput kedatangannya dari Eropa.
“Ji-Ho?” ucapnya pertama kali, lalu
ia tersenyum senang. Dia hanya bisa
menghindar dari lelaki ini. “Kau masih mengenalku?” tanyanya lagi ia saat ini
berjalan mundur di hadapannya.
Katakanlah dia adalah Ji-Ho. Ji-Ho
berhenti dan koper yang dipegangpun ikut berhenti, Ji-Ho menatap orang ini
dalam-dalam. “Apakah kita pernah bertemu?” tanya Ji-Ho.
Lantas ia tersenyum, dan pergi.
“Ji-Ho melarangku mendekat. Aku harus pergi.” Lalu ia menjauh. Bahkan sudah
hilang di ujung tikungan itu.
Sungguh Ji-Ho tak mengerti, ia
mengenalinya dan ini sungguh tak adil. Mengapa Ji-Ho tahu dia, apakah dia...?
*****
Di perjalanan Ji-Ho melewati seorang
pengepul sampah yang berteriak, “Aku penerima sampah. Dan panggil aku jika kau
butu aku!” Ji-Ho jelas melihatnya dan tunggu, itu benda yang tak asing. Sebuah
benda yang mengingatkannya kepada
seseorang.
“Tunggu!” pintanya. Dengan cepat si
pengepul sampah itu berhenti. “Apa ada yang bisa aku lakukan untukmu, nona?”
tanyanya.
Ji-Ho meraih sepatu lusuh itu dengan
jijik, “Dapatkah aku memilikinya?” tanyanya.
Lantas si pengepul itu berdiri dngan
heran, kemudian dia memberikan si
pengepul sampah 2 won untuk sepatu
itu dan kemudian Ji-Ho pergi.
*****
“Appa[ayah]!!!”
Dari dalam rumah yang hangat
terlihat sepasang suami istri yang saling berbeda aktivitas namun di hadapan
keduanya ada sebuah tv yang dinyalakan. Sang istri menonton dan si suami
membaca koran.
“Kau mendengar sesuatu?” tanya si
istri.
Sang suami tanpa melirik menjawab,
“Aku mendengar Ji-Ho kita memanggil namun, ini cukup mustahil jika dia berada
di depan rumah memanggilku.”
“Kau benar. Ji-Ho kita ada di
Eropa.” Katanya membetulkan.
“Appa...Appa..”
teriaknya sekali lagi.
Sepasang suami-istri itu saling
menatap dan kemudian mereka berlari, “Ji-Ho datang!”
“Ji-Ho kami!” sambutnya, dengan
cepat ayah menyambarkan pelukan kepadanya. Selanjutnya menepuk bahu Ji-Ho dan
berkata. “Harusnya kau menghubungiku, agar aku dapat menjemputmu di bandara.”
Lalu ibu dengan wajah berserinya
menyambar koper yang dia tarik sedari tadi dan membawanya masuk.
*****
“Kau ingin kemana?” tanya ibu
padanya. Sembari mengaduk adonan yang akan dibuat untuk pie daging nanti malam.
Sambil memasang sepatu kirinya, “Aku
ingin berjalan-jalan sambil membeli kopi.”
“Kopi?” ulang ibu. Ia berburu-buru
berdiri dan melap tangannya di celemeknya. “Aku bisa membuatkanmu!” tawar ibu.
“Anio[tidak],
aku ingin berjalan-jalan juga.” Kemudian dia pergi begitu saja.
*****
Di kota ini cukup banyak kedai kopi
hingga dia tak tahu harus memilih yang mana. Lalu dia berhenti di sebuah kedai
dengan nama, “Bintang kecil.” bacanya. Sudah dia putuskan jika dia memilih tempat ini untuk memesan secangkir
kopi. Dan dia rasa kopi khas cocok untuknya.
“Apakah kita saling mengenal?”
tanyanya. Seorang laki-laki datang tiba-tiba dan duduk di hadapannya. Ia meliriknya
dan kemudian sambil memainkan sepuntung rokok di tangannya. Dia Ji-Ho mencoba
mengingat-ingat yang dia bisa, apakah
dia mengenalnya?
“Kurasa ini baru pertama kali kita
berjumpa.” Balasnya.
“Apa tujuanmu datang kesini?”
Dengan malas dia menjawab, “Untuk memesan secangkir kopi.” Dan
kurasa semua orang akan tahu jika dia ke
kedai kopi untuk apa. Dan dia tak tahu
pasti apa maksud orang ini datang-datang langsung bertanya apakah dia mengenalinya. “Aneh.” gumamnya.
Lalu kemudian ia menyalakan sebatang
rokok itu di hadapannya dan mengisapnya. Sedangkan dia hanya bisa pasrah. Ji-Ho
mrnyeruput secangkir kopi itu dan setelah itu dia memasang syal coklatnya. diletakkanya
selembar uang, dan pergi dari tempat ini saat lelaki itu tiba-tiba berteriak
tidak jelas kepada seseorang.
*****
Tempat ini sudah banyak beruba.
Sambil masukkan tangannya kedalm saku
jaket kemudian terkesimak.
Di sana ada tiang listrik pas di
depan rumahnya. Sekali lagi Ji-Ho melihat orang itu lagi, dengan jaket lusuh dan
menggunakan sepatu hanya sebelah. Ia melirik balkon kamar atau tepatnya rumah Ji-Ho seolah dia sedang
menguntit.
“Lee Seung-Ryong.” Kata Ji-Ho hati-hati dan ia pas ada di belakangnya.
Dia berbalik dengan wajah senang dan
kini menatap Ji-Ho sejenak. Kemudian ia kaget sampe-sampe ia hampir jatuh
terduduk. Terlihat lelaki itu bersembunyi di balik tiang listrik
di depan rumah. Ia mungkin bersembunyi dari Ji-Ho dan mungkin berharap ia tak melihatnya. “Kau Lee Seung Ryong?”
tanyanya lagi dan kali ini ji-Ho mengikuti kemana pergerakan orang itu dan alih-alih dapat melihat wajah lusuhnya
itu. “Itu.. Benar-benar kau, kan?” sahut Ji-Ho. Ji-Ho mencoba mendekatinya yang kini tampak bergerak
semakin liar, “Ini aku.” Katanya meyakinkan. “Kau tak mengenaliku?”
Dia haya mencoba menyembunyikan
tubuh besarnya di balik tiang listrik. “Aku teman sekelasmu dulu. Aku Seok
Ji-Ho. Kau ingat?” Katanya dengan ramah. “Aku tak tahu, kau masih tinggal di
sini.” Lanjutnya kemudian tersenyum.
Orang itu memang betul Lee
Seung-Ryong. Ia dapat melihat jelas tingkahnya yang takka berubah walau
bagaimanapun. Dia adalah orang bodoh itu. “Seung-Ryong tak pergi kemana-mana.”
Katanya. “Kau melihatku? A..aanggap kau tak melihatku. Maa..af!” ucapnya
terbata-bata dan ia mencoba pergi.
Saat Ji-Ho tersenyum setelah itu ia
heran, “Ini aku Seok Ji-Ho” katanya lagi agar Seung-Ryong mau mengakuinya.
“Maafkan aku,,, anggap kau tak
melihatku.. aku akan pergi dari hadapanmu. Dan membuatmu tak melihatku lagi.”
Lalu Seung-Ryong pergi dari hadapan Ji-Ho.
“Hey!” panggil gadis ini Ji-Ho. Ia
melihat dengan jelas Seung-Ryong pergi tergopoh-gopoh hingga meninggalkan
sebelah sepatunya lagi. Sepatuh lusuh, di dekatinya sepatu itu dan dipungutnya.
Lalu Ji-Ho tersenyum. “Lagi.” gumam Ji-Ho.
*****
Si bodoh lari dengan senangnya. Ia
senang karena gadis itu kembali dan ia dapat melihatnya hampir setiap hari. Dan
mungkin untuk mengendap lagi. Ia berlari dengan satu sepatu di kaki kanannya
saja, dengan senang ia berlari tak peduli bahkan ia menabrak tiga pejalan kaki
sekaligus. “Mianhyeo[maaf].”
Si bodoh berlari langsung menuju
kedainya untuk kembali menjual roti sandwich. Sejak ia putus sekolah, ia
memutuskan untuk menjual sandwich untuk memenuhi kebutuhan hidup seseorang. Seorang
gadis kecil yang ia sangat sayangi. Gadis itu cantik dan bersekolah di sekolah
di dekat kedainya, mungkin 1000 langkah dari tempat ia menjual.
Ia kemudian langsung melayani para
pelanggan dari sekolah adiknya. Bahkan ia tak peduli jika para pelanggannya
berkata, “Seung-Ryong bodoh!”
Yang ia perlukan hanya melihaat
gadis itu, melihat adiknya, dan mengatakan “Sandwich untuk perut yang lapar.
Dan satu dollar untuk kaleng ini.”
*****
Seong-Ryong kecil melihat gadis
kecil itu memainkan sebuah lagu dengan piano. Seong-Ryong sangat suka musik
bahkan ia juga suka melihat gadis itu memainkan piano, ia takkan berhitung dua kali
jika ia lebih suka melihat gadis itu bermain pioano ketimbang belajar.
Hingga suatu hari, ia tak melihat
gadis kecil itu bermain piano. Semua orang tahu itu. Mata tajam mulai
menyelimutinya, Seong-Ryong hanya dapat tersenyum menunduk. Ia tahu bukan
waktuunya untuk tersenyum namun oataknya itu yang memaksanya untuk senyum
terus.
“Ini salah si bodoh itu. Dari dulu
dia yang selalu ada di depan pintu musik ini. Pasti dia yang membakar piano
itu.” sahut seorang siswa berambut cepak ke seorang guru. Guru itu menatap
Seung-Ryong penuh arti dan kembali
menenangkan gadis piano itu. “Ini adalah piano yang di sumbangkan oleh ayahmu.”
tambahnya lagi.
*****
Seung-Ryong hanya menunduk saat
ibunya duduk disampinya dengan menggenggam tangan kecilnya. Seung-Ryong suka
genggaman ini.
“Seung-Ryong adalah anak yang
berbeda dari anak lainnya. Bisakah anda berpihak kepada Seung-Ryong saat semua
orang menuduhnya.” pinta ibu Seung-Ryong. Matanya penuh pengharap, “Aku adalah
ibunya, dan aku mengenal anakku ini. Dia takkan membakar piano itu.”
Guru dihadapannya mengeluarkan
secarik kertas. “Aku turut menyesal, tapi ini adalah keputusan para orang tua
siswa. Banyak laporan jika mereka tak nyaman jika berada di dekat Seung-Ryong.”
“Baiklah, jika tak ada percaya
padamu. Aku adalah orang yang akan percaya padamu Seung-Ryong.” Kata ibunya
meyakinkan. Kemudian ibunya membawa pergi Seung-Ryong dari tempat tak berhati
ini. Tak ada yang mengerti Seung-Ryong dan ibunya.
Didalam dekapan sang ibu Seung-Ryong
meninggalkan sekolah untuk terakhir kalinya dan melihat dua orang yang berbeda
tempat. Gadis piano itu dan si pelaku yang sebenarnya. Seung-Ryong yang malang,
ia menanggung semuanya padahal ia tak tahu apa-apa.
“Kau, jangan pernah mendekatiku
lagi. Jangan pernah menampakkan dirimu lagi. Pergi kau, kau bodoh. Si bodoh!!”
hardik gadis piano itu padanya. Seung-Ryong akan mengingat ini. Ia akan
mengingat sebagai catatan penting.
*****
“Little..
Little.. Little star. Dimana kau berada..”
“Hai,
kau.. Kau tak bosan menyanyikan lagu itu setiap tahun?”
Seung-Ryong
menggeleng, “Tidak. Apa hari ini kau tidak ke bintang kecil?” tanyanya. Lalu
melanjutkan lagunya.
“Hai
man, kau sudah berani menasehatiku ya.” jawab orang di sampingnya. Dia adalah
sahabat satu-satunya yang dimiliki Seung-Ryong. Dia adalah anak kecil yang
menyebabkan piano gadis itu terbakar bukan Seung-Ryong.
*****
Pagi yang cerah. Seung-Ryong mulai
terjagah dari tidurnya. Dia menatap langit-langit kamarnya dengan posisi yang
sama ia berucap, “Bagung pagi, buatkan sarapan untuk Jee-In, jangan
membangunkannya, jangan ribut, jangan membuat napannya berbunyi, jadi Jee-In
tidak terbangun,” lalu ia menuju dapur dan membuat roti sandwich. “Sembunyikan,
karena itu kecil.” menutup roti dengan penutup mangkuk dan selanjutnya penutup
toples, “Sembunyikan karena ini besar.” Menutupnya dengan taflon. “Sembunyikan
karena ini besar.” menutupnya dengan panci dan kemudian menutupnya dengan
tudung saji. Setelah itu ia membawa meja kecil itu di depan pintu kamar Jee-In dengan
hati-hati. Dan barulah ia berangkat ke kedai kecilnya.
“Jee-In adalah adikmu, jadi jagalah
dia. Ibu hanya memilikimu yang dapat ibu titipkan Jee-In.” kata ibunya dulu.
Seung-Ryong sangat sedih jika tidak menuruti kata-kata ibunya. Seperti sebuah
perintah yang harus Seong-Ryong laksanakan sebagai anak baik.
*****
Seung-Ryong menggocok telur dan
menuangkannya di penggorengan datar tak lupa ia cetak. Lalu ia membuat sendwich
dengan benar dan ahli. “Obat oles untuk yang luka. Roti sandwich untuk perut.
Dan satu dollar untuk kaleng.” ucapnya berulang kali.mungkin ini alasan mengapa
dia terkenal sebagai pembuat sandwich enak tapi bodoh.
Saat ia telah melayani dua orang
pelanggan, ia melihat adiknya melintas. Jee-In gadis cantik menurutnya, ia
menaiki meja dan menatap Jee-in hiingga gadis kecil itu tak terlihat lagi di
matanya. Seung-ryong tersenyum, memang benar adiknyaa itu sangatlah cantik.
“Seung-Ryong..” panggil seorang
pelanggan.
Seung-Ryong terkesimak, ia turun
dari meja dan menatap pelanggannya itu. Ia kemudian kaget setengah mati hingga
ia menjadi salah tingkah. “Apakah, kau baik-baik saja?” tanya pelanggan itu
cemas.
Benar itu adalah Seok Ji-Ho, gadis
yang membuatnya sangat senang. Gadis pemain piano, gadis yang membuatkannya
salju. “Kenapa kau lari dariku kemarin. Kau meninggalkan ku.kau membuatku
sendiri.”
“A..aku..Ha..nyaa..” gagapnya
“Mulai saat ini, kau akan terbiasa
melihatku!” sahut Seok Ji-ho. “Bisakah kau membuatkanku sandwich?” pinta Ji-Ho.
Seung-Ryo bersembunyi di balik
spatulanya, dan mencoba membuatkan Ji-Ho sebuah sandwich. “Satu dollar untuk
kaleng.” ucap Seung-Ryong dan taksengajah ia menumpahkan banyak gula ke
sandwich Ji-Ho. “Maafkan aku..” sesal Seung-Ryo.
“Aku ingin itu, berikan itu padaku.”
cegah Ji-Ho sebelumSeung-Ryong semakin gugup. “Aku ingin itu.” pinta Ji-Ho dan
tersenyum meyakinkan. Seung-Ryong kemudian menutup sandwich itu dengan bagian
roti lainnya dan melapisi dengan selembar kertas dan memberikannya ke Ji-Ho.
Ji-Ho menerima sandwich itu dan
mencicipinya, “Enak!” kata Ji-Ho tersenyum. “Aku punya bayaran untukmu.” Ji-Ho
memberi dua sepatu yang berbeda bentuk dan lusuh. “ini untukmu, dan jangan
melepas sepatumu lagi. Bye!” Ji-Ho meninggalkan kedai sederhana itu.
Seung-Ryong menerima sepatu itu
dengan senang dan tertawa. Mungkin ia akan menumpahkan banyak gula lagi ke
sandwich gadis itu.
*****
Seok Ji-Ho memasuki kamarnya dan
menggantung syal dan sweternya. Sudah ada ibunya disana duduk di atas kasur
sambil menatap foto masa kecil Ji-Ho. “Berapa banyak sandwich yang kau makan?”
canda ibunya. “Kau tak ingat? Dia adalah temanmu waktu sekolah dasar.” tambah
ibunya.
“Sungguh?”
“iya, dia bahkan menonton
pertunjukanmu sewaktu natal.” Ibunya menambah fakta lagi.
“Omma[ibu],
apakah dia memang terlahir bodoh?” tanya Ji-ho.
Ibunya menggeleng, “Yang kutahu, dia
seperti itu karena menghirup banyak gas sehingga otaknya rusak dan ayahnya
meninggal.”
“Memang benar, dia tidak bodoh.”
sahut ji-Ho.
*****
Seperti biasanya Seung-ryo
menjadipenguntit lagi. Menatap balkon Ji-Ho, Seung-Ryo bersembunyi di balik
tiang listrik. Dan Ji-Ho sadar akan hal itu. Ji-Ho tersenyum, lalu turun
menghampiri Seung-Ryo.
“Hai, mau menemaniku jalan-jalan?”
tanya Ji-Ho tiba-tiba.
Seung-Ryo mulai gugup lagi. “Aku
akan pulang.” katanya.
“Ayolah,,” bujuk Ji-Ho. Lalu
Seung-Ryong tersenyum riang. “Oia tunggu sebentar.” Lalu Ji-Hoberlalu masuk
kedalam rumahnya dan keluar membawa sepasang sepatu coklat milik ayahnya. Ji-Ho
berjongkok, “Lepaskan sepatu kotormu itu!” pinta Ji-Ho. Namun, Seung-Ryo tidak
mau maka Ji-Ho melepas paksa sepatu itu dan memasangkan sepatu yang dibawanya
tadi. “Ini kanan, ini kiri.” jelas Ji-Ho. Maka Seung-Ryong harus mengingat itu.
“Kanan...Kiri..” Seung-Ryong
menngoyangkan kakinya satu persatu sesuai dengan apa yang ditunjkkan Ji-Ho
padanya. Maka mereka jalan-jalan di malam hari dengan suasana dingin.
*****
“Kau sudah sampai di rumahmu.
Setelah ini kau akan apa?” tanya Ji-Ho.
Seung-Ryong masuk kedalam rumahnya,
“Gosok gigi dan tidur. Itu kata ibu
padaku.” jawab Seung-Ryo. Lalu ia membuka sepatunya dan meletakkannya dengan
rapih.
“Kalau begitu akau pulang, daa..”
sembari mengangkat tangannya pertanda sampai jumpa. Seung-Ryo mngangkat tangannya juga. “Ada apa dengan tanganmu?”
tanya Ji-Ho cemas saat melihat tangan Seung-Ryo melepuh.
“Ini tidak apa-apa!” balas
Seung-Ryong.
“Kau punya kotak P3K?”
*****
“Kenapa tanganmu terluka?” tanya
Ji-Ho setelah menyelesaikan balutan pada tangan Seung-Ryong.
“Jee-In. Aku tadi mengawasinya, tapi
aku memegang penggoreng.”
“Sebaiknya lain-kali kau harus
hati-hati.” pesan Ji-Ho. Ia kemudian berdiri, “Sampai jumpa!”
Seung-Ryo diam sejenak, dan kemudian
senyum bahagia.
“Tunggu dulu,kau memerlukan
perbaikan sedikit!”
Ji-Hopun mengkramas rambut
Seung-Ryong. Seung-Ryong melihat pantulannya di cermin ia langsung teringat
mengenai ibunya. Saat itu posisinya masih sama seperti dulu,dengan penuh cinta
ibunya mengusap dan memberi sampoo ke kepalanya.
“Kalau seperti inikau terlihat
gagah.” kata Ji-Ho sambil merapikan rambut Seung-Ryong.
*****
Pagi ini seperti biasanya
Seung-Ryong menyiapkan sarapan untuk adiknya. Kali ini ia akan mulai berani
menyapa atau membangunkan Jee-in dari tidurnya agar ia tak telat ke sekolah.
“Jee-In? Ayo bangun!” pinta
Seung-Reyong lembut.
Jee-in menatap kesal Seung-Ryong,
“Sudah kukatakan jangan menyentuh pintu kamarku ataupun membangunkanku!” jawab
Jee-in ketus.
Seung-Ryong
yang semulanya berwajah ceria kini cemberut. Ia cemberut bukan karena ia
mendapat bentakan tapi karena ia melihat jelas bahwa Jee-In tiba-tiba berwajah
pucat. “Jee-In sakit?” ucap Seung-Ryong gemetar.
Jee-In mengerutkan kening, memasang
wajah malas. “Keluar kau, kau bodoh. Urusi dirimu!” bentaknya. Dengan pasrah
Seung-Ryong menututup pintu kamar
adiknya.
Saat setelah Seung-Ryong tak tampak
di hadapannya lagi, Jee-In memegangi tubuhnya dan menahan sakit yang teramat
sakit. “Aisshh,,, dasar bodoh. Bagaimana bisa dia mencoba mengurusiku sedangkan
dia tak mengurusi dirinya sendiri.”
cibir Jee-In. Lalu ia bangun dengan sekuat tenaga dan mencoba menutupi sakit
yang dirasanya.
*****
Sejak tadi ia melayani pelaanggan
degan wajah gusar, ia hanya dapat berkata. “Satu dollar untuk kaleng.”
sedanggkan para siswi yang notabene sebagai salah satu murit yang satu sekolah
dengan adiknya Jee-In sibuk merumpi seperti biasa membicarakan dirinya. Namun,
ia tak perduli lagi sekalipun saat itu mereka membicarakan dirinya mengenai,
“Si bodoh tampak gagah dengan penampilannya saat ini. Kenapa dia tidak
membenahi dirinya dari kemarin-kemarin.”
Lalu yang ia sibukkan hanya
memandangi setiap siswa yang lewat,
berharap Jee-In lewat agar ia dapat memastikan bahwa gadis keras kepala itu
baik-baik saja. “Kamsahamnida[terima
kasih]!” sahutnya kepada seorang guru yang membeli sandwichnya.
Bell sekolah itu dapat ia dengan
begitu jelasnya. Namun sejak tadi ia sama sekali tak mendapati Jee-In lewat
seperti hari-hari biasanya. Dan itu membuatnya agak gusar.
*****
Semilir angin perlahan menyapa
wajahnya. Kini sang matahari sebgai lampu bagi bumi telah pergi dengan
sendirinya yang kini diganti oleh bulan yang berkilau sebab cahaya pantulan
dari bumi. Sebenarnya bulan itu terlihat utuh jikalau awan tebal dan pekat itu
tak menghalanginya.otaknya hanya mampu membayang-bayangi gadis itu, gadis yang
telah diditipkan padanya. Satu-satu orang yang harus ia jaga.
Sejak pukul 05.13 sore tadi para
sisiwi telah pulang. Tetapi, gadis itu sama sekali tak dapat ia lihat batang hidungnya
lagi. Ini membuatnya semakin tak bergairah untuk meninggalkan kedai kecil itu.
Ia menunggu terus bahkan ia selalu mengarahkan pandangannya ke arah gerbang
besi besar itu.
“Seung-Ryong, kenapa kau tak
pulang?” tanya seseorang tiba-tiba. Dan itu membuat Seung-Ryong sadar dan kaget
hingga ia hampir jatuh ke belakang. “Apakah kau baik-baik sja?” tanyanya sekali
lagi.
Seung-Ryong melirik orang itu, lalu
tersipu malu. “Aku menunggu Jee-In pulang! Aku harus disini!” balasnya gagap.
“Jee-In? Harusnya dia sudah ada
dirumah!” ucap orang ini adalah Ji-Ho.
“Dia bahkan tak kulihat saat dia ke
sekolah!”
“Sebaiknya kau menutup kedai ini,
dan akan ku bantu kau memastian jika Jee-in memang sudah pulang.”Ji-Ho
meyakinkan.
Dengan penuh percaya ia mulai
membenahi diri,menggantung clemeknya dan mencuci tangan tak lupapula ia menutup
kedainya. Ia harus meyakini jika Ji-Ho benar.
*****
“Kenapa kau selalu menghindar
dariku?” tanya Ji-Ho tiba-tiba.
Seung-Ryong mengingat masa itu,
“Karena Ji-Ho yang minta!” jawabnya.
“Kalau begitu, sekarang aku tak akan
menyuruhmu lagi menghindariku.”
“Sungguh?” ucap Seung-Ryong penuh
semangat. “Apakah itu akan membuatu senang?”
“tentu!” angguk Ji-Ho. “Aku harus
banyak berterima kasih kepadamu!”
Si bodoh menjawab, “Untuk apa?”
“Karena kau telah membantuku saat
demam panggung di musim dingin, waktu pentas pertamaku di bangku sekolah
dasar.”
“Aku tak banyak membantu, aku hanya
ingin bintang-bintang tahu jika Ji-Ho ahli dalam piano.”
“Sungguh?”
“Iya!” angguk Seung-Ryong. “twinkle, twinkle, little star, how i wonder
what you are,up above the world so high, like a diamond in the sky, twinkle,
twinkle, little star, how i wonder what you are..”
Ji-Ho menggelengkan kepala, dan
setelah itu melanjut lagu Seung-Ryong. Beberapa menit kemudian turunlah salju
dengan perlahan menambah rasa senang dalam hati Seung-Ryong. “Aku menyukai lagu
ini, salju, dan musikmu!” sahut Seung-Ryong.
“Benar-benar, dahulu aku sangat
kejam kepadanya. Dan aku sadar jika aku harus merubah pola fikirku dari sekarang.”
Batinnya, saat ia melihat Seung-Ryong yang sedang bermain salju.
“Oia, Seung-Ryong. Ini hadia dariku
dan kau harus berjanji agar menjaganya dan tak mengilangkannya.” Ji-Ho
menyodorkan sepasang sepatu bergambar bintang kepada Seung-Ryong.
“Untukku?” menunjukk dirinya.
“Tentu, tpi kau jangan
menghilangkannya ya!”
Seung-Ryong mengangguk senang. Dan
setelah itu memakai sepatu itu. “Aku akan janji untuk menjaga sepatu ini... Aku
akan janji untuk menjaga sepatu ini!” ucapnya berkali-kali.
Tak sadar mereka telah sampai di
depan rumah Seung-Ryong dengan cepat ia masuk tanpa pamit ke Ji-Ho. Ia tahu,
jika Jee-In adalah orang yang yang terpentingnya kali ini.
“Jee-In sudah pulang!” teriak
Seung-Ryong dengan cepat.
*****
Pagi ini Seung-Ryong seperti
kemarin, tak bersemanat karena tak mendapati adiknya melintas di depan
kedainya. Ia semakin gusar.
“Gadis keras kepala itu, kurasa
sakit dan bahkan ia telat ke sekolah dan dihukum.”
“Kita belikan dia sandwich juga.”
“Kau bergurau? Jee-In bahkan tak
suka roti!”
“Oh, baiklah..” ucapnya pasrah pada
akhirnya.
Seung-Ryong mendengar jelas
percakapan ogadis-gadis itu. Ia mendengar jika Jee-In sakit, dengan cepat ia
kemuar dari kedai itu tanpamemperdulikan apapun. Ia berteriak dengan keras
menyerukan nama, “Jee-In.” Ia diselimuti rasa penuh bersalah saat mengingat
kata sang ibu jika ia tak boleh membiarkan Jee-In sakit.
“Jee-In!!!” teriak Seung-Ryong
hingga membuat siswa-siswi gempar.
“Si bodoh itu kenapa?” bisik
seseorang.
“Jee-In!!” teriaknya lagi. Hingga
seorang siswi memanggilnya. “Kau mencari Lee Jee-In?” tanyanya.
“Jee-In!”
“Dia ada di dalam!” kata siswa itu.
Dengan cepatSEung-Ryong masuk ke kelas dan melihat adiknya itu sedang meringkup
di atas meja dengan menjadikan lengannya sebagai tumpuan kepalanya. Benar
adanya jika Jee-In sakit karena suhu badannya begitu panas. Jee-In saat ini
pingsan tak sadarkan diri, sehingga membuatnya semakin gusar.
“Jee-In tak boleh sakit. Jee-In
harus ke rumah sakit. Ibu mati karena sakit seperti ini. Je-In harus tidak
boleh mati. Jee-In harus ke rumah sakit dan di suntik. Bertahanlah..” katanya
saat Jee-In telah berada di punggungnya. Sesaat ia ingin membawa Jee-In ke
rumah sakit seorang guru bertanya padanya.
“Kau siapa? Dan apa hubunganmu
dengan Jee-In?” tanya guru itu dengan nada membentak.
Lalu dengan cepat Seung-Ryong
menjawab. “Dia..” mencoba ragu sebab ia pernah di anam oleh Jee-In jika adiknya
itu malu dengannya. “Aku..Aku kakanya Jee-In, aku.. Aku kakak dari Jee-In,
Jee-In adikku. Dia adalah adikku, aku kakanya. Aku kakaknya Jee-In. Jee-in
adalah adikku. Adikku adalah jee-In.” ucapnya berulang kali. Sehingga semua
orang yang mendengarkannya tersentuh dan bahkan ada yang menitikkan air mata,
bahkan samapai Jee-In di bawah ke rumah sakit Seung-Ryong masih berbicara seperti
itu.
*****
Untung saja, Jee-In dibawa ke rumah
sakit dengan cepat. Bahkan Jee-In bisa selamat. Tetapi, seperti sebuah penyakit
turunan dari ibunya, ginjal Jee-In rusak
dan harus menerima pendonor segera. Seung-Ryong mengetahui hal itu cepat-cepat
ia menghadap dokter dan berkata, “Ambil ginjalku untuk Jee-In.” Namun hasil tes
berkata lain jika ginjal Seung-Ryong tidak cocok.
Sang-Soo sahabat Seung-Ryong
sekaligus anak yang harusnya mnerima ganjaran atas perbuatannya taun silam yang
lalu memutuskan untuk menjadi pendonor untuk Jee-In. Sungguh di luar kepalang,
Seung-Ryong senangnya bukan main. Da harus banyak berterima kasih kepada
Sang-Soo.
*****
Hari ini adalah hari dimana Jee-In
di oprsi, sebagai kawan yang baik Ji-Ho mengajak ke bukit tempat ia bertemu
pertama kali saat Ji-Ho pulang dari Eropa.
“Aku tak ingin hari salju!”
“Kenapa?” tanya Ji-Ho heran.
“Aku percaya jika orang yang
meninggal telah menjadi bintang. Ibu dan ayahku sudah meninggal dan mereka
telah menjadi bintang. Waktu ibuku masih hidup ia bilang jika aku merindukannya
dan ayah juga aku harus melihat bintang.” Ji-Ho merasa hatinya yang terdalam
sedang di robek ia sangat menyesal melakukan kesalahan di masa lalu. Dan ia
harus tahu jika ia harus menjadi anak yang baik untuk orang tuanya nanti
seperti Seung-Ryong. “Aku ingin mereka melihat Jee-In di oprasi.”
“Aku yakin hari ini tak turun salju,
bahkan ayah dan ibumu melihatnya.” Sahut Ji-ho.
“Baiklah, aku akan pulang dan
membawa barang-barang Jee-In di rumah sakit.! Sampai juampa!” lalu Seung-Ryong
berlari dengan ceria ke rumahnya.
*****
Disaat perjalanannya menuju rumah
sakit, ia mendapati 3 orang preman dan berkata. “Kau Sang-Soo?” tanya seorang
diantaranya.
Seung-Ryong berhenti dan menatap
ketiga orang itu. Ia mengingat jika sang-soo memiliki banyak musuh yang ia tahu
ia harus melindungi Sang-Soo sebab ia telah menolong Jee-In.
Dengan kejam ketiga orang itu
menghajar Seung-Ryong tanpa ampun dan sama sekali tak pernah curuga jika orang
bodoh ini bukanlah Sang-Soo.
*****
“Aku datang kesini untuk mendata
orang yang meninggal!” sahutnya.
Lalu si pendata menyerahkan secarik
kertas untuk diisi namun gadis ini tak menerimanya bahkan ia hanya memandang
lurus.
“Baiklah aku yang akan mengisinya.”
kata si pendata. “Apa hubunganmu dengan almarhum?” tanyanya.
“Aku adiknya, aku adiknya
Seung-Ryong. Seung-Ryong adalah kakakkku. Aku adik dari seung-Ryong.
Seung-Ryong kakakku. Aku adik seung-ryong. Dan aku adalah adiknya...” kata
Jee-In berulang kali.
“Baiklah, aku sudah tau. Ka tinggal
dimana?” tanya si pendata.
“Ini aku adiknya, Seung-Ryong
adiknya Jee-in. Jee-In adalah aku, dan aku adalah adinya Seung-Ryong. Dia
adalah kakakku, dan aku adalah adiknya..” begitulah yang ia katakan seperti
saat Seung-Ryong membawanya datang ke rumah sakit. Jee-In ingat semuanya,
Jee-In merasa tertampar atas sikap yang pernah dilakukan kepada
seung-Ryong.harusnya Jee-In mengatakan bahwa ia benar-benar mencintai kakaknya
itu.
*****
Seok Ji-Ho mentap keluar jendela sat
hujan turun begitu derasnya, ia kemudian memandang tiang listrik tua itu.
Harusnya seseorang telah ada di sana sekarang. Namun, pada malam itu ia
mendapati laki-laki itu sudah tidur untuk selamanya dengan simpahan darah di es
salju yang putih.
Dengan takkuasa lagi Ji-Ho
menunmpahkan perasaan panas di dadanya dengan diandai sebuah air mata yang
mulai membasahi kedua pipinya. Sesegukan ia menyebut namasi pecinta salju itu.
Si bodoh yang tak akan kembali lagi,
si bodoh yang telah menjadi bintang untuk di kenang, si bodoh yang sangat
menyukai bintang kecil, si bodoh yang gila akan adiknya, dan si bodoh yang mati
untuk Sang-Soo.
END